Mengenai Saya

Foto saya
Rambut agak keriting, badan tinggi (gagah), Gak Kurus Gak Gendut, Sedrhana & Apa ada nya

Arsip Blog

Rabu, 25 September 2013

Mahar dan Wali Mahar

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Latar belakang dari pembuatan makalah tentang Mahar dan waliini yaitu agar kita dapat mengetahui secara luas tentang ilmu ilmu pernikahan tentang mahar dan wali
B. Perumusan masalah
1.       Pengertian Mahar
2.       Syarat-Syarat Mahar
3.       Pengertian Wali 
Syarat-Syarat Wali
      BAB II
PEMBAHASAN
MAHAR DAN WALI MAHAR
Yang dimaksud dengan mahar adalah mas kawin,yaitu sesuatu pemberian dari pihak laik-laki kepada pihak perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki, walaupun  mahar ini bukan termasuk syarat atau rukun nikah. Mahar dalam suatu pernikahan di anggap penting, karna selain memang di wajibkan oleh agama, ia juga merupakan tanda kesungguhan dan penghargaan dari pihak laki-laki sebagai calon suami kepada calon istrinya.
Allah SWT berfirman
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4
Artinya :
berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An nisa : 4)
Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
Mengenai ukuran besar kecil nya atau sedikit banyak nya mahar yang diberikan pihak laki-laki, islam tidak menetapkan nya denga tegas, karna adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rizki. Pemberian mahar terutama didasarkan kepada nilai dan manfaat yang terkandung didalamnya. Karna islam menyerahkan masalah ini kepada masing-masing sesuai dengan kemampuan dan adat yang berlaku di dalam masyarakat, dengan syarat tidak terbentuk sesuatu yang mendatangkan mudharat, membahayakan atau berasal dari usaha yang haram.

Rasulullah bersabda :
تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ رواه البخاري
“ Nikahlah engkau walaupun maharnya berupa cincin dari besi” (HR. Bukhari)

اَنَّ امْرَأَةًمِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلٰي نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلي الله عليه وسلم أَرَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكَ وَمَالِكِ نَعْلَيْنَ ؟ فَقَالَتْ نَعَمْ ، فَاَجَازَهُ
“Bahwasanya seorang perempuan Bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal . kemudian rasulullah SAW bertanya: apakah engkau relakan dirimu dan milikmu dengan sepasang sandal ? perempuan itu menjawab : ya. Lalu Rasulullah membolehkannya.”
Mahar boleh dibayar secara tunai atau dibayar kemudian (utang) dan boleh pula dibayar separuh-separuh, asal sang perempuan rela dengan cara demikian. Mahar yang diutang wajib dibayar seluruhnya bila istri sudah digauli atau salah seorang dari suami istri meninggal dunia, meskipun keduanya belum tercampur. Demikian pula bila suami mencerai istrinya sedangkan maharnya belumdibayar separuhnya. Akan tetapi apabila belum ditentukan besarnya mut’ah. Mut’ah ialah pemberian mantan suami kepada istrinya yang dicerai sebagai kenang-kenangan dan penghibur baginya.[1]
Sebaik-baik maskawin ialah yang termudah, sebagaimana dinyatakan hadits :
عَنْ عُقْبَةَ بْنُ عَامِرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قاَلَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَبْرُالصَّدَاقِ اَيْسَرَهُ
Artinya :
“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra.,ia berkata : Rasulullah saw bersabda : “sebaik-baik maskawin (mahar) ialah yang termudah “ (H.R. Abu Dawud dan disahkan oleh Hakim)
·         SYARAT-SYARAT MAHAR

1.       Benda yang suci, atau pekerjaan yang bermenfaat.
2.       Milik suami.
3.       Ada manfaatnya.
4.       Sanggup menyerahkan : Mahar tidak sah dengan benda yang sedang dirampas orang dan tidak sanggup menyerahkan nya.
5.       Dapat diketahui sifat dan jumlah nya[2]




·         WALI
Wali adalah orang yang berhak menikahkan perempuan dengan laki-laki sesuai dengan sya’riat islam.[3]
Sabda Rasulullah saw :
عَنْ عَاءِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا عَنِ النَّبِي صَلَّي الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدِىْ عَدْلٍ
Artinya :
Dari ‘Aisyah ra. Dari Nabi saw. Beliau bersabda : “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dangan adanya wali dan dua orang saksi yang ‘adil”. ( H.R. Ahmad dan Baihaqi )[4]
A.      Kedudukan wali
Wali dalam pernikahan mempunyai kedudukan yang sangat penting bahkan dapat menentukan sah tidaknya pernikahan. Pernikahan tanpa wali hukumnya tidak sah atau batal.
Rasulullah bersabda:

لاَنِكَاحَ اِلاَّبِوَلِيٍّ مُرشِدٍ  رواه الشافعي
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali ang dewasa.”(HR.Asy-syafi’i)

Dalam hadits lain Rasulullah menegaskan:
عَنْ عَاءِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا قاَلَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اَيُّمَاامْرَاَةٍنَكَحَتْ بِغَيْرِاِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَحُهَا بَاطِلٌ فَاِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَااسْتَحَلَّ مِنْ وَجْهِهَا فَاِنْ تَشَاجَرُوْا فَالسُّلطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Artinya :
 “Perempuan mana pun yang menikah tanpa seizing walinya maka nikahnya batal,nikahnya batal, nikahnya batal. JIka suaminya mencampurinya maka ia berhak atas mahar dikarenakan suaminya telah menghalalkan kehormatannya. Jika wali enggan(menikahkan) maka hakimlah menjadi wali bagi orang-orang yang tidak ada walinya.”(HR.4 imam hadits kecuali Nasai).
B.      Tingkatan Wali
secara garis besar wali nikah menjadi dua macam, yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah wali karena ada hubungan darah(kerabat) dan wali hakim adalah orang yang diberi hak oleh penguasa untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dan sebab tertentu pula. Sebagian ulama, iantaranya ulama madzhab syafi’I, hambali dan hanafi menambahkan bahwa orang yang memerdekakan budak berhak menjadi wali nikah bagi budak yang dimerdekakannya,  jika tidak ada wali nasab.
Hak berpindahnya wali kepada wali hakim adalah jika tidak ada wali nasab, atau karena gugurnya hak wali nasab karena sebab-sebab tertentu, misalnya murtad, gila dan lain-lain.
Urutan wali dalam pernikahan adalah sebagai berikut:
1.       Ayah kandung
2.       Kakek dari pihak ayah, dan seterusnya keatas
3.       Saudara laki-laki kandung (seayah seibu)
4.       Saudara laki-laki seayah
5.       Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
6.       Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
7.       Paman (saudara ayah) kandung
8.       Paman (saudara ayah) seayah
9.       Anak laki-laki dari paman kandung
10.   Anak laki-laki dari paman seayah
11.   Wali hakim
Urutan wali nikah sebagaimana disebutkan diatas menurut imam syafi’I adalah wajib. Artinya apabila wali yang berada pada urutan terdekat dari perempuan yang akan dinikahkan ada,maka wali pada urutan dibawahnya tidak berhak menjadi wali.

C.      Macam-macam wali

1.       wali mujbir
mujbir menurut bahasa ialah orang yang memaksa. Sedangkan yang dimaksud dengan wali mujbir ialah wali yang mempunyai hak menikahkan orang yang diwalikan tanpa meminta izin dan menanyakan terlebih dahulu pendapat mereka. Maka wali mujbir ini berlaku bagi perempuan yang kehilangan kemampuannya, seperti anak yang masih belum umur tamyiz(dewasa). Juga berlaku bagi perempuan yang kurang kemampuannya, seperti anak-anak dan orang yang kurang sempurna akalnya.
para ulama berpendapat bahwa yang berhak menjadi wali mujbir bagi orang gila dan kurang mampu akalnya adalah ayahnya, kakeknya dan seterusnya. Sedangkan menurut imam syafi’I berada ditangan ayah dan kakeknya.
Para ulama yang membolehkan menikahkan anak perempuan tanpa meminta izin terlebih dahulu mmberikan syarat sebagai berikut:
a.       tidak ada permusuhan terhadap ayah dan anak
b.      hendaklah dikawinkan dengan orangyang setara(sekufu)
c.       maharnya tidak kurang dari mahar misil(sebanding)
d.      tidak dinikahkan dengan orang yang tidak mampu membayar mahar.
e.      Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan(membahayakan) si anak kelak.
2.         wali hakim
wewenang waliberpindah ke tangan hakim disebabkan oleh dua hal yaitu :
a.     terjadi pertentangan diantara para wali.
b.    tidak adanya wali nasab, baik karena meninggal, hilang atau gaib.
Apabila calon suami yang sekufu telah datang dan calon isteri telah setuju sementara walinya tidak ada, baik karena telah meninggal,hilang atau gaib, maka hakim berhak menikahkannya, kecuali bila calon pengantin bersedia untuk menunggu kedatangan wali tersebut.
3.         Wali Adhal
Wali Adhal adalah wali yang enggan atau menolakuntuk menikahkan perempuan yang ada dibawah kewaliannya. Para ulama sepakat bahwa wali tidak boleh menolak untuk menikahkan perempuan yang menjadi tanggung jawabnya dalam perwalian bila ada laki-laki sekufu ingin menikahinya dengan mahar misil dan perempuan menyetujuinya. Apabila wali menolak menikahkan dalam keadaan seperti ini tanpa ada alasan yang dapat diterima, maka perempuan itu berhak menagdukan perkaranya kepada hakim dan meminta kepadanya untuk menikahkannya.
Dalam keadaan seperti ini masalah perkawinan tidak pindah kepada wali lainnya sesuai dengan urutannya, tetapi langsung pindah ke wali hakim, karena adhal itu suatu tindakan aniaya. Namun bila penolakannya itu berdasarkan kepada pertimbangan yang masuk akal, seperti tidak sekufu atau maharnya kurang dari mahar misil, maka perwaliannya tetap berada di tangan wali nasab dan tidak pindah kepada wali hakim.[5]

·         SYARAT-SYARAT WALI

1.       Syarat orang yang bukan islam tidak sah menjadi wali, sebab dalam al-qu’ran telah dinyatakan bahwa orang kafir itu tidak boleh menjadi wali yang menikahkan pengantin perempuan islam.
Hal ini sesuai dengan firman allah swt.dalam al-qu’ran :
žw ÉÏ­Gtƒ tbqãZÏB÷sßJø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# uä!$uŠÏ9÷rr& `ÏB Èbrߊ tûüÏZÏB÷sßJø9$#  }
Artinya :
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang kafir  menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. (s. Ali-imran, 28)
2.       Lakii-laki
3.       Baligh dan berakal
4.       Merdeka bukan sahaya
5.       Bersifat adil.
Perkawinan perempuan kafir dzimi tidak membutuhkan syarat islamnya wali. Dan perkawinan perempuan budak tidak membutuhkan sifat adilnya wali.

Wali hakim
Wali hakim ialah kepala negara yang beragama islam, dan dalam hal ini biasanya kekuasaannya di indonesia dilakukan oleh kepala pengadilan agama, ia dapat mengangkat orang lain menjadi hakim untuk mengaqadkan nikah perempuan yang berwali hakim.

A.        Perempuan Berwali Hakim

Perempuan berwali hakim karena :
1.       Tidak ada Wali Nasab.
2.       Tidak cukup syarat Wali bagi yang lebih dekat dan wali yang lebih jauh tidak ada.
3.       Wali yang lebih dekat ghaib sejauh perjalanan safar yang memperbolehkan mengkashar shalat.
4.       Wali yang lebih dekat sedang melakukan/ihram mengerjakan haji atau umrah.
5.       Wali yang lebih dekat masuk penjara dan tidak dapat dijumpai.
6.       Wali yang lebih dekat menolak, tidak mau menikahkan.
7.       Wali yang lebih dekat hilang tidak diketahui tempat tinggalnya.

B.      Perlunya wali dalam perkawinan

1.       Untuk menjaga hubungan rumah tangga anak dan orang tua.
2.       Orang tua biasanya lebih tahui tentang bakal jodoh anaknya, sebab perawan islam tidak patut bergaul bebas.

C.      Syarat-syarat saksi

1.       Laki-laki
2.       Beragama islam
3.       Akil balik
4.       Mendengar
5.       Bisa berbicaradan melihat
6.       Waras
7.       Adil[6]



BAB III
PENUTUP 
SIMPULAN
Mahar adalah mas kawin,yaitu sesuatu pemberian dari pihak laik-laki kepada pihak perempuan disebabkan terjadinya pernikahan. Pemberian mahar ini hukumnya wajib bagi laki-laki, walaupun  mahar ini bukan termasuk syarat atau rukun nikah.
Wali adalah orang yang berhak menikahkan perempuan dengan laki-laki sesuai dengan sya’riat islam. Dari ‘Aisyah ra. Dari Nabi saw. Beliau bersabda : “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dangan adanya wali dan dua orang saksi yang ‘adil”. ( H.R. Ahmad dan Baihaqi )

DAFDAFTAR PUSTAKA

 Zainuddin , Djedjen dan  Suparta  , Muhammad . 1994 . Fiqih . Semarang : Pt karya toha putra.
Rifa’I , Moh . 1978 . Fiqih Islam Lengkap . Semarang : Pt karya toha putra.


[1] Drs. Djedjen Zainuddin, MA dan Drs. H.M. Suparta, MA. Fiqih, Semarang, Pt karya toha putra,1994,h.190-191
[2] Drs. H. Moh. Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap, Semarang, Pt karya toha putra, 1978,h.463
[3] Drs. Djedjen Zainuddin, MA dan Drs. H.M. Suparta, MA. Fiqih, Semarang, Pt karya toha putra,1994,h.185
[4] Drs. H. Moh. Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap, Semarang, Pt karya toha putra, 1978,h.461
[5] Drs. Djedjen Zainuddin, MA dan Drs. H.M. Suparta, MA. Fiqih, Semarang, Pt karya toha putra,1994,h.185-188
[6] Drs. H. Moh. Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap, Semarang, Pt karya toha putra, 1978,h.459-461

Tidak ada komentar:

Posting Komentar